Jakarta - Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini Indonesia memiliki cadangan gas sebanyak 144,06 TCF, terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TCF.
Hampir separuh dari cadangan tersebut terkonsentrasi di 2 tempat, yaitu Blok East Natuna 49,87 TCF dan Blok Masela 16,73 TCF. Keduanya adalah ladang gas lepas pantai (offshore) yang akan menjadi tulang punggung produksi nasional di masa depan.
Tapi sampai sekarang nasib kedua ladang gas raksasa itu tak jelas, belum ada aktivitas sama sekali di sana, sejauh mata memandang hanya ada lautan kosong saja. Kabar terbaru, ExxonMobil pekan lalu mengembalikan Blok East Natuna kepada pemerintah. Perusahaan migas raksasa dari Amerika Serikat (AS) itu tak mau berinvestasi lagi di East Natuna.
Bagaimana dengan Blok Masela?
Perdebatan soal kilang LNG Masela sempat menyita perhatian publik pada awal 2016. Sudirman Said yang waktu itu Menteri ESDM dan Rizal Ramli yang ketika itu Menko Kemaritiman berpolemik keras di media massa. Sudirman ngotot kilang LNG dibangun di lepas pantai (offshore), sedangkan Rizal ingin onshore. Akhirnya pada Maret 2016 Jokowi memutuskan harus memakai skema onshore.
Setelah perdebatan soal onshore dan offshore berakhir, Masela tetap dirundung masalah. Yang teranyar, sudah dari 2 bulan lalu Inpex mengajukan Authorization For Expenditure (AFE) ke SKK Migas untuk memulai Pre-FEED (Pre Front End Engineering Design) alias rancangan pengembangan Masela, tapi AFE tak kunjung disetujui karena ada perdebatan soal besarnya biaya Pre-FEED.
Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, memperingatkan bahwa langkah Exxon di East Natuna bisa saja dilakukan juga oleh Inpex di Masela. Sebab, pemerintah cenderung memaksakan kehendak pada Inpex saat membahas pengembangan Blok Masela.
Mulai dari persoalan kilang LNG onshore atau offshore, besaran biaya investasi, durasi kontrak, IRR, hingga Pre-FEED, pemerintah cenderung memaksakan kehendak.
"Masela bisa tidak jalan kalau Inpex terus didorong-dorong pemerintah tanpa win-win solution. Investor dipaksa kerja dengan IRR (Internal Rate Return) sekian persen. Padahal ini bisnis berisiko tinggi," tukas dia.
Kalau pemerintah tak mengubah cara pandang dan sikapnya dalam memperlakukan investor hulu migas, bukan hanya ExxonMobil saja yang akan mengembalikan blok migas.
"Masela juga bisa seperti itu. Pada suatu titik, Inpex akan bersikap. Mereka sekarang masih menunggu," katanya.
Untuk memperbaiki iklim investasi hulu migas memang tidak bisa dalam waktu singkat. Tapi pertama-tama pemerintah harus ramah pada investor, mau menerima masukan dan berkomitmen melakukan perbaikan.
"Pemerintah perlu lebih banyak mendengar, jangan melihat dari sudut pandang sendiri yang belum tentu benar. Jangan memaksakan kehendak pada investor. Memang tidak bisa instan perbaikannya, butuh confidenttinggi dari investor," Pri Agung menyarankan.
Jika tidak ada perbaikan, proyek-proyek migas yang amat strategis seperti Masela, East Natuna, dan IDD bakal jalan di tempat terus, bisa jadi investornya cabut seperti Exxon.
"Kalau cara memperlakukan investor seperti ini, ya investor pergi," pungkasnya.
Sebagai informasi, PSC Blok Masela sudah ditandatangani oleh Inpex Corporation sejak 1998 alias 19 tahun silam. Cadangan gas yang terbukti sudah ditemukan melalui kegiatan eksplorasi pada 2006 atau lebih dari 1 dekade lalu.
Blok Masela awalnya ditargetkan mulai memproduksi gas sebesar 1.200 MMSCFD pada 2024. Nilai proyeknya diperkirakan mencapai US$ 30 miliar alias Rp 390 triliun, investasi yang sangat besar. Tapi dipastikan molor setidaknya 2 tahun karena Plan of Development (PoD) Masela harus direvisi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta kilang LNG Masela dibangun di darat (onshore). (mca/ang)
(Sumber : www.detik.com)
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment